Dengan penuh rasa ingin tahu dan penasaran, kami memasuki concert hall yang menjadi bagian dari PETRONAS Building itu. Yang menyambut kami adalah berbagai macam suara dari tiap alat musik yang ambil bagian dalam konser ini. Semua, ya, semua pemain sudah siap di panggung. Mereka sedang asyik melakukan pemanasan, latihan, memainkan bagian-bagian yang menurut mereka masih sulit. Wow. Wow. Wow. Kalau di Indonesia sih, mana ada yang begini. Biasanya pemain baru masuk setelah MC membuka acara. Tapi bagiku sih, hal ini sudah tidak aneh, karena menurutku model seperti ini juga bagus, jadi tidak menunjukkan kesan terlalu eksklusif, yang terpancar adalah aura bersahabat. Mengijinkan para penonton untuk melihat gambaran bagaimana yang terjadi di balik layar, ketika mereka berlatih, bagaimana mereka berusaha mengatasi ketidakbisaan mereka terhadap suatu part.
Aku lupa bagaimana ceritanya sampai akhirnya semua pemain berhenti memainkan alat musik. Sunyi. Senyap. Hening. Not even a single buzz of the sound system was heard, and we even can hear other’s breathing!!! Buset, ini adalah ruangan dengan akustik paling keren, awesome, sejauh pengalamanku masuk ke dalam ruang pertunjukan!
MC membuka acara dari tempat lain, yang terdengar hanyalah suaranya melalui speaker – yang ternyata berada di depan kami, tepat di depan kami (karena kami duduk di paling depan) berada menempel di panggung. Kemudian sang dirijen masuk. Tepuk tangan riuh menyambut dirinya. Naik ke podium, dan langsung mengangkat baton, mengondak. Tiba-tiba musik yang sangat dikenal terdengar.
Itulah theme song dari film “Superman” yang dibuat pada tahun 1978. Komposisi buatan Williams yang satu ini sangat familiar di telingaku. Ya, dan seketika itu juga aku terkesima. Kau tahu? Suaranya... suaranya, bagaikan sedang mendengar lagu melalui speaker dengan kualitas terbaik! Mereka tidak menggunakan sound system apa pun untuk mendukung volume suara yang mereka hasilkan – semua murni hasil permainan mereka. Sungguh. Not even a small mistake was there.
Kemudian Richard Kaufman – konduktor tersebut – membuka acara dan berkisah sedikit mengenai konser malam ini. Dilanjutkan dengan theme song “Jurassic Park”. Yang satu ini pernah kami bawakan ketika Wind Concert bulan Agustus tahun lalu. Dan... oh, aku ter... terpesona dengan permainan yang mereka bawakan. Ini... ini sempurna! Aku kemudian belajar dan membandingkan antara yang mereka bawakan dengan yang kami bawakan dulu. Yah beda lah ya, dulu kan cuma dimainkan dengan alat musik tiup... ini lengkap.
“Sayuri’s Theme” dari “Memoirs of Geisha” membuai para penonton. Apalagi Yogi. Hahaha. Pemain flute yang berdarah Jepang menjadi bintang di komposisi ini. Suara khas seruling dapat dimainkan dengan baik oleh Yukako Yamamoto – flautist tersebut. Suasana Jepang terasa sekali, Jepang kuno, Jepang di masa lalu.
Richard kembali berkisah mengenai komposisi yang akan dibawakan selanjutnya. Theme song dari “Close Encounters of The Third Kind”, jujur aku belum pernah mendengarnya, tahu filmnya saja tidak. Jadi aku menanti dan... Yah, memang cukup kontemporer konsepnya. Sedikit distorsi di awal memberi kesan modern. Namun pada bagian tengah dan akhir bagus.
Selanjutnya adalah salah satu komposisi dalam film “Yes, Giorgio” yang berjudul “If We Were in Love”. Film ini dibintangi oleh almarhum penyanyi tenor ternama di dunia, Luciano Pavarotti. Sungguh, aku belum pernah tahu apa pun tentang ini. Tapi akhirnya aku dan mbak Kris sepakat menobatkan yang satu ini sebagai salah satu komposisi favorit kami! Romantis dan mendayu.
Sesi satu ini diakhiri dengan theme song dari “Star Wars” yang telah akrab di telinga kami. Komposisi tersebut mengalun dengan gagah, mengantarkan para penonton menuju ke gerbang akhir dari sesi pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar