Rabu, 07 Oktober 2009

Satu Kisah di Hari Rabu

Aku pulang setelah mengerjakan setengah dari makalah kelompok anatomiku. Hujan masih setia, membasahi bumi UI yang luas ini. Tidak terlalu lebat, juga bukan hanya rintik-rintik. Untung sejak kemarin selalu sedia payung. Memangnya sekarang sudah musim hujan, ya, sampai-sampai intensitas hujan naik seperti ini? Rasanya cepat sekali kemarau berlalu.

Menyeberangi jalan dari FKM ke halte FIK, mataku menatap halte itu yang masih sepi. Ah, sebentar lagi juga ramai, pikirku, dan mungkin bis kuning label merah itu akan langsung penuh di halte ini saja.

Seperti biasa, kalau sudah mulai sore begini pasti bis kuning label merah datangnya lama. Padahal bis kuning label biru sudah lewat dua kali mengangkut penumpang di halte FKM. Entah apa yang dilakukan para supir bis kuning label merah itu di asrama (rute bis kuning dimulai dan diakhiri dari dan di asrama UI).

Akhirnya, setelah bis PNJ yang datang, lama kemudian bis kuning yang ditunggu-tunggu puluhan orang di halte FIK datang. Dan... benar saja, bis itu langsung penuh. Menuju ke tengah untuk memberi tempat bagi yang masih naik, aku melihat halte FKM di seberang. Wah, di sana bis kuningnya sudah datang lagi. Tapi tidak semua terangkut, masih banyak – sekitar sepuluh orang lebih – yang belum terangkut. Kasihan. Apalagi musim hujan begini. Orang-orang yang biasanya mungkin berjalan kaki akan lebih tergantung pada transportasi kedap air. Kalau sudah begini, pasti bis kuning selalu penuh, berapapun banyaknya dan seringnya mereka datang ke tiap halte.

Alhamdulillah, bisa naik di kedatangan pertama bis kuning sejak awal menunggu. Bagaimanapun harus bisa naik, karena aku harus cepat-cepat sampai rumah. Saat itu waktu menunjukkan hampir pukul lima sore, dan aku belum shalat ashar. Mana di rumah sedang tidak ada orang, dan aku yang bertugas menyalakan lampu, menutup gorden, dan mengecek apakah di rumah bocor lagi. Pikiran selama di bis kuning cuma itu.

Setelah bis kuning berhenti di halte stadion UI, aku langsung siap dengan payung. Wuah, beceknya waktu mau turun! Karena sedang dibuat saluran air, tanah yang diuruk itu menjadi lumpur dan becek. Terpaksa berjalan di batu pembatas jalan dan berhati-hati saat berpapasan dengan orang yang ingin naik bis kuning. Ah, akhirnya sampai di trotoar.

Berjalan di atas trotoar menuju pintu keluar UI ke kukusan kelurahan – begitu orang menyebut daerah itu karena terdapat kantor kelurahan di sini – ujung jari kakiku sudah merasa basah. Rok bagian bawah juga.

Ternyata hari ini salah rencana. Tadi aku meminjam buku perpustakaan tanpa berpikir akan turun hujan hari ini. Kedua buku tersebut kumasukkan dalam tas – yang untungnya berbahan kedap air – dan menambah beban pundak. Belum lagi aku membawa laptop, yang mau tidak mau harus kusandang juga. Tas punggung kuhadapkan depan. Tas laptop juga. Jadilah aku seperti ibu hamil membawa beban di depan. Tapi mau bagaimana lagi, kalau di belakang aku tidak bisa mengontrol keduanya. Kalau di depan ‘kan setidaknya bisa kupayungi semua. Bajuku sih, bodo amat.

Tas-tas sudah agak basah, dan aku mengkhawatirkan tas laptop terutama. Karena di bagian depan (yang sudah basah) adalah tempat dimana kabel charger disimpan. Untungnya, tas ini tebal, jadi tidak sampai basah ke dalam.

Berat sekali beban di pundak ini. Aku berjalan kaki dengan dua tas disandang, membawa payung yang sepertinya percuma saja. Lebih baik mungkin membawa jas hujan. Dan aku baru ingat di sepertiga perjalanan keluar menuju jalan besar kukusan bahwa aku... belum makan siang. Tadi hanya sempat beli teh kotak (itu pun yang less sugar, bodohnya) di koperasi FKM pukul sepuluh pagi menjelang siang. Sempat terpikir, bagaimana kalau aku pingsan di tengah jalan ini? Apakah aku akan tersungkur di tanjakan ini? Di tengah hujan deras ini? Aduh, kenapa pikiran jadi lebay begini, sih?

Sudah tidak memerdulikan kaos kaki yang sudah basah kuyup, bagian bawah rok yang lepek, dan sepatu sandal yang basah juga, aku berjalan di tengah hujan yang – sialnya – semakin deras. Air yang menggenang di jalan makin membuatku merasa berjalan di tengah banjir. Air, air, dan air terus menerpa kaki. Belum lagi kalau motor lewat, sudahlah terciprat air gara-gara motor lewat itu. Aku hanya berusaha agar tas laptop ini tidak lebih basah lagi. Tambah lagi sepertinya orang-orang yang berteduh pada ngelihatin, ‘Ini orang ngapain sih, nekat banget payungan hujan deras begini’. Tapi aku berusaha tidak menghiraukannya, demi cepat sampai rumah. Sempat terpikir di tengah jalan untuk berhenti dulu di sebuah tempat untuk memakan bekal yang sengaja kubawa hari ini (yang belum sempat kumakan tadi siang). Tapi aneh juga, dipikir-pikir, jadi aku meneruskan perjuanganku untuk mencapai jalan besar kukusan.

Pinggangku mulai pegal, kakiku mulai gemetaran. Perasaanku mulai bimbang, pundakku makin kaku. Yah, berat sekali perjalanan ini. Tapi aku membayangkan bagaimana di daerah-daerah yang masih belum maju, dengan keadaan yang lebih parah dari ini, dimana penduduknya harus menempuh jarak berkilo-kilo untuk beraktivitas tanpa kendaraan?

Saat mataku menangkap pemandangan kendaraan yang berseliweran ke kiri dan kanan, perasaanku lega, sangat lega. Aku sudah mencapai kehidupan. Sudahlah kaos kakiku basah, rasanya seperti memakai kaos kaki yang habis dicuci tidak dijemur langsung dipakai. Untungnya ada angkot yang sudah standby di pinggir jalan (dan untungnya kosong!). Langsung aku naik dan abang supir angkotnya melajukan mobilnya, mencari penumpang lagi di tengah hujan deras ini.

Di dalam angkot aku mengecek tas laptop, apakah basahnya sampai ke dalam. Ternyata tidak juga sih, untungnya. Syukur deh. Langsung aku mengeluarkan ongkos dari dompet di dalam tas punggung, agar nanti tidak susah saat sudah mendekati komplek. Saatnya berpikir, bagaimana formasi yang enak untuk membawa barang-barang ini turun.

Ah, tas laptopnya jinjing saja di tangan, pikirku akhirnya, dan turun dengan melaksanakan niat itu. Hmm... aku lupa pinggir jalan Asmawi ini lekukannya dalam, jadi air yang menggenang dalam juga. Mana lagi baru ingat kalau di depan komplek ada ‘tunggul’ yang mencegah aliran air dari jalan besar masuk ke komplek (dan sering menyebabkan banjir di komplekku). Air di depan komplek yang terhalang tunggul setinggi mata kaki. Terpaksa berjalan melewati air itu. Rasanya aneh sekali, banjir-banjiran dengan kaki terbalut kaos kaki dan sepatu sandal. Sampai-sampai orang di warung bakso itu ngelihatin aku. Hahaha, biar deh. Udah basah semua ini roknya, setengah ke bawah malah kuyup.

Fyuh... menginjak turunan komplek, hatiku lega. Sudah sampai di rumah, sebentar lagi. Aku mempercepat langkah. Melihat tembok berwarna kuning, hatiku bertambah lega. Segera kukeluarkan kunci rumah dari tas punggung dan membuka gembok. Ya, ya, rumah sedang kosong, kau tahu? Adik belum pulang sekolah, Mama dan Papa pergi. Dan aku membuka gembok dengan lengan yang basah karena pagarnya basah. Sudahlah, sudah di rumah ini. Aku sempat melihat anak tetangga bersuka ria di depan rumahnya dengan seragam putih-merahnya, berhujan-hujanan. Dia nggak tahu ada yang susah gara-gara hujan ini. Hehehe, kok nyalahin orang, ya?

Menginjakkan kaki ke garasi, aaah... Senangnya! Memang yang paling enak itu di rumah sendiri. Cepat kututup pagar, mengambil kunci rumah yang disembunyikan – khawatir aku tidak membawa kunci tadi – dan membuka pintu rumah. Here I come, home... Kaos kaki kulepas langsung di luar, nanti lantainya basah.

Menyalakan lampu rumah 18. Menyalakan lampu lorong rumah 18. Menaruh kaos kaki basah di atas mesin cuci. Menyalakan lampu rumah 17. Menaruh tas laptop di kursi, menyalakan lampu kamar. Menaruh tas punggung, dan lepaslah semua beban...

Masih dengan rok yang basah dan kalau jalan bunyi ‘flap flap’ seperti sound effect di komik-komik, aku menutup gorden rumah 18 dan 17, kemudian mengeluarkan isi tas laptop, dan mengeluarkan buku perpus yang lembab di dalam tas punggung. Mama menelepon kemudian untuk memastikan gorden dan lampu sudah ditutup dan dinyalakan. Ada mungkin sekitar 3 kali orangtuaku menelepon untuk memastikan keadaan rumah dan aku dan adikku yang belum pulang karena les. Sungguh baik orangtuaku, aku sangat bersyukur dilahirkan sebagai ‘Aku’. Bahkan Pakde juga menelepon, berpesan agar aku dan adikku hati-hati.

Segera aku mengambil pakaian ganti dan handuk, lalu mandi secepatnya. Air dingin yang kupakai untuk mandi membuat tubuhku makin panas untuk menyeimbangkan suhu luar tubuhku yang dingin. Shalat ashar! Buru-buru aku mandi lalu melaksanakan kewajiban yang terlambat itu. Gila, itu sih parah!

Setelah shalat ashar, aku mengisi perut dulu dengan bekal yang tidak kumakan tadi siang. Takut jadi maag. Alhamdulillah terisi juga. Kemudian azan magrib pun tiba. Setelah shalat magrib, aku membuat susu. Tapi saat melihat kotak es di freezer, wah, esnya menyatu dan hanya bisa terambil beberapa. Jadi aku menambahkan air ke dalam wadah es itu, kemudian berpikir. Air es ini untuk apa ya? Kalau dibuang sayang betul, ini kan air minum. Kemudian terpikir untuk membuat es sirup di teko besar dengan air es dan es yang sedang dicairkan ini. Jadi aku langsung mencampur sirup dan es ke dalam teko, ditambah air secukupnya. Jadilah es sirup! Es susuku juga sudah jadi. Jadi, kenapa kita tidak ke dalam dan minum keduanya?

Yah, lega hatiku sampai di rumah dengan selamat. Sudah terpikir olehku untuk menulis kisah hari ini saat di perjalanan pulang, mungkin bisa jadi kenangan dan bahan renungan.

Aku sangat bersyukur dalam kondisi saat ini. Sangat bersyukur atas apa yang telah kudapatkan sampai saat ini, masih lebih beruntung dibanding yang lainnya. Apa yang kupikir kurang, ternyata lebih di mata orang.

Semoga kisah dari perjalanan sore ini memberikan banyak hikmah bagiku, bagi kalian semua yang membaca. Banyak bersyukur atas semua kesempatan yang telah Dia berikan, termasuk kesempatan hidup sampai hari ini, detik ini. Terima kasih, ya Allah. Kau Maha Pemurah.

Depok, 7 Oktober 2009

Anda, Gizi UI 2009





Share on Facebook

Tidak ada komentar:

Club Cooee