Selasa, 23 Juni 2015

Nyaris Seperempat Abad

Zaman sudah modern, semakin maju teknologi, semakin berkembang pula pikiran manusianya. Terutama pada golongan usia produktif pertama, yang saya golongkan dengan seenaknya pada usia 18-30 tahun. Penggolongan ini bukan berdasarkan teori, tapi pengamatan dan pendapat saya terhadap interpretasi dari 'sukses di usia muda'.


Iri? Ya, saya iri dengan mereka yang telah menjadi CEO, bos, pemilik dari usaha yang mereka rintis sendiri maupun bersama beberapa rekannya. Saya iri dengan mereka, karena itu bukti bahwa mereka berhasil mengekspresikan buah pikirnya ke dalam aksi nyata, dan ide-ide yang ditelurkan terus menetas, mengembangkan sayap kesuksesan mereka ke tempat yang lebih tinggi. Iri? Bagaimana tidak?

Dari segi finansial, ya, tentu semua ada perjalanan dan lika-likunya jauh sebelum mereka dapat sukses seperti yang dikoar-koarkan di berbagai media berita. Proses yang telah mereka alami tentunya tak selalu manis, malah mungkin ada sensasi pahit tujuh rupa yang pernah mewarnai perjalanan karir mereka. Namun justru di situlah pepatah 'Pengalaman adalah guru yang terbaik' dapat bermakna sebenarnya. Kegagalan pun dihadapi dengan tegar dan dilawan dengan pedang kreativitas serta tameng pengalaman. Iri? Oh, tentu. Bukankah iri diperbolehkan pada hal-hal yang baik?

Kalau mereka tidak memiliki passion yang kuat, pasti mereka akan berhenti di tengah jalan. Ketika mereka berhenti, mungkin saja jika mereka mau berjalan beberapa langkah lagi ke depan, akan ada jalan keluar dari permasalahan mereka. Ibarat sedang menggali bahan tambang, ketika menyerah karena tidak kunjung menemukan yang diinginkan, ia berbalik dan menyerah, padahal dengan menggali beberapa sentimeter lagi saja ia akan menemukan unsur yang ia cari.

Kembali lagi lah ke soal karir.

Kenapa saya menulis penuh rasa iri (dan mungkin galau, di bawah nanti) seperti ini?

Karena saya... iri. Apa lagi yang dapat saya jabarkan di sini? Saya iri pada mereka yang 'sukses di usia muda'. Bukan melulu dari segi materi, tetapi dari segi 'kebebasan berekspresi' yang mereka dapat jalani. Bahkan tak sedikit teman saya yang berhasil melewati rintangan menuju 'kebebasan' itu dan meraih buah manis. Mungkin sebenarnya ada yang hanya menelan buah pahit dan tak bisa sembuh dari sensasi pahit tujuh rupa itu, hanya saja yang seperti itu biasanya kabarnya tidak dimunculkan ke dunia. Malu, gengsi. Akhirnya dikubur dalam tanah sampai lapisan kesembilan.

Mungkin sebenarnya saya sudah membohongi diri saya sejak di bangku sekolah. Khususnya SMA. Kalau TK, masih main-main, belajar membaca, berhitung, berteman. SD dan SMP, topik pelajarannya masih tergolong umum, meski di SMP sudah mulai spesifik tapi tetap dipelajari semua. Nah, di SMA ini lah... mungkin awalnya ketika saya ikut try out di sebuah bimbingan belajar dan puncaknya ketika menjelang akhir masa SMA, di mana saya mendaftar untuk ujian seleksi masuk perguruan tinggi. Saya mengikuti ujian mandiri Universitas Indonesia bernama SIMAK-UI.

Pada saat try out, saya ingin nilai saya tembus perkiraan passing grade Fakultas Ilmu Komputer. Tetapi sampai akhir masa try out, nilai saya tak pernah bisa menembus passing grade tersebut. Dan seperti halnya simulasi, tentunya pilihan jurusan yang dapat dipilih ada dua (karena saya memilih jalur IPA). Apa pilihan kedua yang saya ambil? Sebuah jurusan yang baru saya tahu jurusan itu ada di sebuah universitas. Sebuah tujuan baru yang tak pernah saya rencanakan sebelumnya. Terpikir saja tidak.

Dan tentunya, saat SIMAK-UI dilaksanakan, pilihan saya tetap pada dua jurusan yang saya pilih saat try out. Saya selalu optimis, tetapi ketika kenyataan bersabda bahwa saya gagal menembus lautan manusia unggul ke pilihan pertama, saya mulai merasa gamang. Mungkin semua itu akan lebih mudah bagi saya andai saya tidak lulus juga ke pilihan kedua karena saya masih bisa mencoba memperoleh kuota kursi Fasilkom melalui jalur seleksi lainnya. Nyatanya, saya diajak, dan saya menerima ajakan si pilihan kedua itu melihat dunia yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya seperti anak kecil yang dibujuk permen dalam bungkus tertutup lalu diajak jalan-jalan.

Ketika bungkus permen itu saya buka dan saya rasakan isinya, respon saya kira-kira seperti, 'Oh, tidak buruk. Saya masih bisa makan ini. Pelan-pelan juga lama-lama habis'. Ya, perumpamaan yang baru saja terpikir oleh saya itu mungkin tepat untuk menggambarkan kehidupan kuliah saya. Saya masih bisa mengikuti ritme belajar ini. Pelan-pelan juga lama-lama lulus. Hingga IP semester satu saya yang kepala dua membuat saya spontan ingin mengundurkan diri. Serius, ketika gambaran indah mengenai tahun pertama yang diwarnai nilai A selalu diproyeksikan pada diri saya, sedangkan kenyataannya seperti itu, hanya itulah yang saya inginkan pada saat itu. Saya ingin keluar dari lingkungan ini. Nyatanya, ada sebutir permen lagi yang disodorkan pada saya. Kali ini permennya lebih besar dan berwarna-warni.

(Tunggu, pesanan online saya tiba. Izinkan saya berbahagia sejenak.)

Permen besar itu adalah tingkat kesulitan yang meningkat dalam perkuliahan saya. Selain kemampuan akademis, untuk jurusan yang erat kaitannya dengan masyarakat juga dituntut kemampuan motorik dan berpikir yang luas dan fleksibel. Semakin besar usaha saya untuk harus menghabiskan permen itu hingga tuntas. Permen yang bagi saya rasanya hambar, mungkin dengan sedikit cita rasa manis.

Warna-warni permen itu, adalah kegiatan nonakademis yang saya lakoni dan hubungan interpersonal yang saya bangun terhadap rekan-rekan nonakademis saya. Kegiatan nonakademis yang saya ikuti salah satunya adalah organisasi musik, yang, jujur, merupakan salah satu yang sesuai dengan passion saya. Seni.

Tetapi saya tidak belok ke jalan itu terlalu jauh. Saya kembali gamang dengan tujuan saya selepas lulus. Apa, apa yang saya cari? Kebingungan itu membuat saya asal saja melamar kerja melalui situs pencarian kerja. Ketika ada yang memanggil untuk wawancara, saya datangi, kalau sudah sreg, saya terima. Pekerjaan 'kantoran' pertama saya hanya berumur sebulan karena datang tawaran untuk bekerja di perusahaan lain yang (katanya) akan sesuai dengan bidang kuliah yang telah saya lakoni.

Tapi memang manusia tak bisa statis, ia harus dinamis jika tak mau hancur. Pekerjaan yang saya lakoni tak terlalu 'kantoran'. Memang penempatan saya di kantor pusat Jakarta, tetapi ada kalanya saya harus mengunjungi area operasional perusahaan di luar kota. Tugas dinas ini memang memberi warna baru dalam keseharian saya, namun saya tidak merasa 'terisi'.

Apa yang kurang, sebenarnya? Saya sendiri tidak tahu pasti.

Saya memiliki segudang keinginan yang ingin saya wujudkan, kalau bisa sebelum berkeluarga. Tetapi kalau kelak memiliki keluarga yang bisa diajak untuk mewujudkan keinginan itu, akan lebih menyenangkan.

1.) Menjelajahi alam Indonesia, khususnya garis-garis pantainya yang sangat panjang dan mungkin belum terjamah. 2.) Memiliki usaha berupa kafe, yang ide-idenya membuat saya tak bisa tidur sampai saya selesai menumpahkan ide tersebut ke dalam buku tulis. 3.) Berjualan kecil-kecilan sebagai tambahan pendapatan, menjadi reseller, katakanlah. 4.) Mempelajari puluhan bahasa daerah Indonesia, walaupun hanya kalimat sapaan atau kalimat sehari-hari. 5.) Menjadi desainer grafis lepas. 6.) Menjadi fotografer lepas. Tak perlulah dulu saya bermimpi ke luar negeri, karena saya ingin mengupas Indonesia hingga ke intinya.

Ke mana passion saya sebenarnya? Saya pun masih dalam perjalanan mencarinya. Kepastian untuk diri sendiri. Jika sisi impulsif saya begitu besar, ketika saya memiliki pemikiran seperti ini, alih-alih menumpahkannya dalam tulisan yang sangat panjang dan membosanan, mungkin saya sudah membuat surat pengunduran diri. Ya, hanya jika impuls saya begitu besar dan saya nekat.

Lihat, tiga jam, bukannya menyelesaikan pekerjaan yang hanya tinggal 25% lagi, malah curhat tidak jelas di sini. Tetapi lumayan untuk membersihkan debu blog yang lama ditinggal tak diurus ini, lah.


Thamrin, 23 Juni 2015

Tidak ada komentar:

Club Cooee