Selasa, 10 November 2009

Perjalanan Kita (Bagian 1-Sebelum Pengumuman UN)

Kenapa sih, kalau di SMA, 3 tahun itu terasa singkaaat sekali? Padahal rasanya baru kemarin kita berkenalan, lomba tujuh belasan bersama dan meraih banyak gelar juara, mengecat kelas bersama, tahu-tahu sudah foto bersama.

Kami yang tadinya tidak begitu dekat, hanya sekedar kenal wajah dan nama saja, kini sudah menganggap sebagai satu keluarga besar. Saling membantu, saling mendukung, bahkan saling mencela (maksudnya bercanda). Untungnya sampai saat ini, belum ada yang saling bermusuhan. Kalaupun ada, paling sebabnya cuma hal kecil, dan 1-2 hari kemudian kembali lagi seperti biasa. Yaa… itu juga kelihatannya cuma main-main saja.


Sungguh, 3 tahun di SMA itu benar-benar menyebalkan, tapi bikin kangen juga. Pingin lulus, tapi nggak pingin lulus. Maksudnya? Ya… pinginnya sih kita tetap berkumpul seperti ini saja… Tapi hal itu tidak mungkin bisa, ‘kan. Kita punya jalan sendiri-sendiri.


Satu tahun di kelas sepuluh, biasanya baru pada bikin semacam ‘grup’ yang memiliki hobi, kesukaan, dan kegiatan yang sama. Tak lupa, masih banyak yang lebih ‘sreg’ ngumpul dengan teman sealumni SMP. Biasanya yang SMP-nya sama lebih akrab (ya iyalah!), dan kalau banyak teman se-SMP-nya di SMA, mereka akan merasa menang dan banyak kawan. Di tingkat ini juga, biasanya masih ‘hot-hotnya’ ikut banyak ekstrakurikuler. Maklum, sok bisa dan ingin tahu juga. Ujung-ujungnya juga pilihan jatuh pada satu atau dua ekstrakurikuler saja.


Jadi geli mengingat hal itu. Pada hari pertama ekskul, ya ampun banget deh, ruangan ‘tuh sampai nggak cukup… terus minggu berikutnya berkurang, berkurang… begitu seterusnya sampai tersisa yang bertahan dan benar-benar niat, sekitar 10-15 orang. Yang keluar? Alasannya banyak, ada yang bentrok dengan jadwal ekskul lain, nggak terlalu minat karena awalnya ikut-ikut teman, sampai yang nggak ‘sreg’ dengan seniornya. Yah… aku yakin masih banyak alasan yang akan diutarakan oleh mereka.


Di kelas sepuluh juga saatnya berjuang untuk masuk ke penjurusan yang diinginkan. Pilih saja, IPA atau IPS. Ada sih, jurusan Bahasa. Tapi itu kalau ada sedikitnya 40 orang yang minat. Toh kalaupun ada, paling nggak akan dibentuk juga, mengingat tenaga guru untuk pelajaran di jurusan bahasa tidak memadai. Padahal dulu aku adalah salah satu yang bersemangat untuk masuk jurusan Bahasa. Eeh, malah masuk IPA… (hush, bukannya bersyukur!).


Berkaitan dengan jurusan, sepertinya masih banyak orangtua yang menganggap bahwa IPA ‘lebih bagus’ daripada IPS. Kenapa? Aku rasa tidak perlu dijabarkan ya, pasti kalian juga sudah tahu jawabannya. Padahal menurutku tidak begitu. Malahan, para ‘petinggi’ di kelas juga banyak yang memilih jurusan IPS, karena mereka sudah memiliki rancangan masa depan mereka sendiri. Toh ujung-ujungnya, seperti yang sering terjadi dari dulu, anak-anak jurusan IPA malah memilih jurusan IPS saat kuliah. Hayo, ngaku?!


Naah… saatnya naik kelas, saatnya ganti teman sekelas! Kita baru tahu masuk ke kelas mana pada hari pertama, bayangkan! Mana nama-namanya ditempel di masing-masing kelas, lagi. Jadilah pada sibuk mencari nama masing-masing dengan perasaan harap-harap cemas, ‘Aku sekelas sama si A nggak, ya?’ atau, ‘Aku nanti duduk sama siapa, ya?’ dan pikiran-pikiran semacam itu. Untungnya dulu aku langsung ‘dipandu’ oleh temanku saat kelas sepuluh, jadi tidak perlu repot-repot lagi, hehehe.


Dan setelah masuk kelas itulah, kami takjub dengan wajah-wajah baru yang berbeda dengan kelas sepuluh. Mungkin ada perasaan senang, lega, ingin tahu, atau apalah setelah melihat wajah-wajah tersebut. Setelah menaruh tas, aku langsung memperhatikan nama-nama di kertas yang ditempel di depan kelas. Aku memperhatikan nama-nama dari kelasku dulu. Wah, totalnya ada 9 orang termasuk aku. Total siswa di kelas ini 44. Hm… berarti pembagiannya rata, dong. Lalu ada 2 nama yang belum ada NIS-nya. Wah, ada anak baru juga. Yang mana, ya?


Tapi aku bisa langsung tahu, karena aku sudah pernah melihat wajah-wajah yang lain sebelumnya, tapi tidak untuk 2 anak baru itu. Tapi kan tetap saja, mereka paling tidak ada yang satu SMP dulu. Sedangkan aku ‘kan pindahan dari luar daerah. Mana punya teman SMP di sini. Jadi kalau ngobrol bahannya cuma sedikit. Paling waktu belajar baru berinteraksi, atau waktu pinjam alat tulis. Itupun ekspresinya masih dingin. Ya ampun... jadi pingin ketawa deh, mengingat-ingat hal itu.


Waktu itu aku tidak sadar kalau ternyata ada satu anak baru di kelas sebelah yang juga satu SMP denganku. Pantas saja aku rasanya familiar dengan wajah itu. Aku saja baru tahu hal itu setelah kelas dua belas. Tapi aku dulu tidak terlalu dekat juga sih dengan anak itu, jadi tidak terlalu memberi pengaruh padaku apakah aku tahu atau tidak. Tapi senang juga begitu tahu ada teman satu almamater, hehehe.


Saat itu aku berharap-harap cemas. Kapan ya, aku bisa akrab dengan yang lainnya? Mereka memiliki dunia mereka masing-masing yang... sepertinya sulit untuk kutembus. Tapi seiring berjalannya waktu, tidak mungkin kalau tidak jadi akrab juga. Karena pasti lambat laun kesukaan tiap orang diketahui juga, dan kalau sama dengan kesukaan kita, pasti akan menjadi ‘sarana’ yang bagus untuk mengakrabkan diri dengan mereka.


Dulu aku juga begitu, begitu mereka tahu bahwa aku gamer, suka komik dan berbagai hal yang (mungkin) agak ke-cowok-an, yang lebih banyak akrab denganku justru anak cowoknya. Kalau dengan cewek-cewek, aku paling cuma nyambung kalau ada soal baju, pelajaran, jalan-jalan, acara TV, dan hal-hal cewek lainnya. Sudahlah, toh aku juga suka berteman dengan yang mana saja.


Kelas sebelas ini benar-benar seperti kelas sepuluh lagi. Kenal dengan teman baru, guru-guru per mata pelajaran yang berbeda, wali kelas yang berbeda. Canggung? Masih. Aduuh... yang namanya ‘jaim’ tuh masih jaman, deh, pokoknya! Tapi berkat berbagai kegiatan kelompok yang ‘mengharuskan’ para siswanya untuk berlatih secara berkala secara bersama membuat hubungan kami makin dekat. Contohnya, kegiatan drama.


Wah, rasanya dulu kita sering sekali disuruh bikin drama. Semua pelajaran bahasa pasti ada. Bahasa Indonesia, kita disuruh bikin drama panjang yang memakan waktu dua jam pelajaran. Bahasa Inggris, kita disuruh bikin drama pendek (Waktu itu masih ada native speaker berkat kerjasama dengan suatu foundation. Angkatan 2007 adalah angkatan terakhir yang merasakan adanya bantuan native speaker tersebut). Wah, nggak jelas banget deh, ceritanya! Bahasa Mandarin? Nggak mau kalah, dong. Bukan drama, sih, yang ditampilkan (walaupun awalnya sudah disuruh drama juga). Tapi penampilan menyanyi yang ―lagi-lagi― dilakukan secara berkelompok. Tetap saja, namanya bahasa asing pasti nggak lancar untuk dibaca, apalagi dihapalkan! Kebayang nggak sih, kalau tahu-tahu ‘nyap-nyapan’ gara-gara ada teks yang lupa???


Jadi ingat. Dulu di kelas sebelas ini, pernah ada ‘insiden’ yang berhubungan dengan seorang guru. Kalian ingat, ‘kan. Jangan mangkir deeh... Ya... nggak akan dibeberin, deh, identitas aslinya.


Jadi ceritanya, dulu di suatu pelajaran, sebagian besar dari kita nggak suka dengan guru pelajaran tersebut. Bahkan pada mengajukan ‘banding’ kepada wakasek. Saat itu aku berpikir, wah, luar biasa sekali reaksinya. Udah kayak mahasiswa demo ke MPR! Mana tuntutannya kayaknya nggak main-main, lagi.


Nggak tahu kenapa alasannya yang pasti, tapi guru itu diganti juga. Sebagian anak-anak masih ada yang belum lega juga, sih. Karena harapan mereka adalah guru itu sampai diberhentikan dari jabatannya biar nggak ada kelas lain yang merasakan ajarannya (Ya ampun... jangan ada yang meniru yah! Walaupun adegan ini tidak direkayasa, tapi jangan coba hal ini! Cukup sekali saja terjadi!).


Lalu, saat acara tujuh belasan. Ini sudah dinanti-nanti. Acara wajib tahunan yang diorganisir oleh OSIS. Pada rentang waktu awal Agustus sampai tanggal tujuh belas, banyak lomba-lomba yang diadakan. Kebersihan kelas dan lomba-lomba tradisional lainnya.


Lomba kebersihan kelas, entah sejak kapan dimulainya, yang pasti identik dengan ‘mengecat ulang dinding kelas’. Pasti, PASTI tiap kelas akan dicat ulang oleh siswa-siswinya. Yah... sesuai kreativitas dan yang penting nggak bikin mata sakit waktu belajar. Waktu itu entah karena apa, kelas kami cuma dicat warna hijau polos. Mana banyak yang mengelupas, lagi, gara-gara plafonnya bocor.


Yang paling seru, ya, lomba-lomba tradisionalnya itu. Seingat aku, aku nggak pernah berpartisipasi di lomba apapun... males. Paling lomba galasin atau gobak sodor. Itu juga dipaksa. Terus ada juga lomba mading. Hahaha, kita menang hiasan doang, nggak ada isinya! Payah deh, ah.


Saatnya hari H, saatnya bazar dan panggung gembira (caelah, istilahnya???). saat itu kami mengambil tema ‘Betawi’ dengan nama stand... apa ya, lupa? Pokoknya waktu itu pada berdandan betawi, deh. Aku sendiri nggak ikut karena jaga stand punya ekskul (huhuhu, maaf ya teman-teman...) dan alhasil aku nggak punya foto yang waktu di stand kelas sebelas dulu... hiks...


Nah, saat bulan Ramadhan pasti banyak kegiatan BuBar (Buka Bareng). Entah itu satu ekskul atau satu kelas. Sedihnya, aku nggak ikut yang BuBar kelas waktu itu. Kenapa alasannya lupa. Dan sampai kelas dua belas aku nggak pernah ikut BuBar kelas.


Memasuki semester 2, salah satu teman kita pindah ke SMA 109 Jakarta. Namanya Ryan, tapi kita sih lebih suka manggil dia dengan Tantan (itu nama dia juga lho). Yah, jadi nggak genap lagi deh, jumlahnya. Belum lagi Miss Rebecca, sang native speaker dari Philadelphia, mau ‘pulang kampung’ dan tidak akan kembali lagi (yaaa... itu sih gara-gara ‘masa aktif’-nya udah habis di SMAN 3...). Jadi kita foto-foto deh, ya ampun... miss you, Rebecca... Tapi kita keep touch kok, lewat Facebook, hehehe. Jaman modern gini, banyak cara, lah.


Terus ada juga saatnya kita foto bersama untuk Buku Tahunan kakak kelas. Yaah... kita juga suatu saat mengalami yang begini, pikirku waktu itu. Padahal cuma untuk satu foto doang, tapi pada bawa baju ganti. Pakai seragam saja juga nggak apa-apa, ‘kan? Habis itu, pada foto-foto sendiri deh, di kelas... hahaa... ketahuan jiwa narsisnya bangkit...


Rasanya cuma hal-hal itu yang berkesan di kelas sebelas. Karena memang keeratan ikatan kami baru terasa sekali waktu kelas dua belas! Begitu banyak momen-momen yang begitu spesial, mengesalkan tapi ngangenin, ataupun momen yang, sungguh, susah dan nggak akan dilupakan selamanya.


Inilah saatnya kami untuk lebih serius dalam belajar. Tapi toh teteeep... santai juga belajarnya. Padahal yang namanya kelas dua belas tuh harusnya lebih rajin belajarnya, karena akan menghadapi banyak ujian, terutama Ujian Nasional. Wooow.... inilah benteng terbesar bagi setiap siswa tingkat akhir.


Banyak yang memutuskan untuk mengikuti bimbingan belajar demi mengejar nilai dan kelulusan. Yaah, biasa ‘lah. Kelas dua belas gitu, lho. Banyak yang concern dengan keadaan kesiapan kita untuk menghadapi UN dan ujian-ujian lain.


Sebentar... mari kita lupakan dulu hal-hal berat itu. Awal-awal naik kelas dua belas masih banyak hal menyenangkan. Apalagi event wajib Tujuh Belasan! Wooow... kali ini lombanya lebih beragam dan lebih tradisional. Lomba yang jadi primadona kali ini dan baru diadakan lagi tahun ini? Tarik tambang pastinya. Ketahuan deh, tenaganya pada tenaga kuli semua. Apalagi pas finalnya, kelasku lawan kelas sebelah. Wuaah... pakai pertumpahan keringat dan darah segala... gimana nggak, lombanya digeber dari pagi sampai siang, dua hari langsung final! Jelas aja tenaga kekuras. Tapi demi nama kelas, apapaun dipertaruhkan! Cadangan energi pun dikerahkan demi gengsi dan kemenangan! (caelah lebay nian.)


Pada hari H (panggung gembira), acara berlangsung dengan lancar. Saat itu kelas kami memakai nama ‘Kampung Merdeka’, dengan kostumnya bernuansa merah dan putih. Benar-benar merah dan putih! Luar biasa! Walaupun sebelumnya disuruh pakai seragam, tapi ya mana mungkin mau. Ini kan tujuh belasan terakhir buat kami, masa iya sih pakai seragam? Nggak aci banget. Tapi sumpah, waktu itu kita kompak banget!!! Dengan nametag di dada, kami siap... menjajakan dagangan kami! Hehehe...


Bazar pun meriah. Stand kelas kami, walaupun hiasannya nggak meriah banget, tapi menu-menunya cukup asoy punya. Contohnya minuman-minuman oplosan (hahaha, istilahnya) yang dibuat oleh sang bartender berbakat dari kelas kami yang tidak bisa disebutkan namanya, lalu ada juga menu makanan tradisional yang cucok banget di lidah, tahu gejrot. Yak, tinggal pesan, mau pedas, sedang, atau biasa? Cabenya satu? Satu biji atau satu plastik???


Yang paling bego nih, ngomong-ngomong soal cabe, ada satu makhluk di kelas kita yang sangat lucu dan lucu mencoba makan cabenya doang. Alhasil... ya kepedesan lah. Lagian cabe dua puluh biji digadoin. Keringat yang keluar di wajahnya segede-gede biji cabe, malah lebih gede. Luar biasa tuh orang. Ada yang tahu kejadian ini? Kalau tahu, ketawa yuk. Hahaha...


Satu kericuhan yang cukup heboh terjadi pada saat pengumuman pemenang lomba. Kelas kami terlibat dalam ‘aksi bentrok’ dimana lawannya adalah kelas sebelah yang stand bazarnya berada di seberang kami. Aksi saling bacot dan saling cela yang menyenangkan pun tak dapat dielakkan. Kami saling ricuh dengan senang hati. Bagi kami, itu adalah aksi bentrok paling indah yang pernah kami lakukan. Sumpah, seru abeeez!!! Tapi kita tetep sohiban kok, ya nggak coy???


Kelasku meraih banyak gelar juara. Pada hari itu juga kita berfoto dengan hadiah-hadiah tersebut (mendadak ngetop tuh hadiahnya). Bangga dong, menang di banyak lomba (walaupun belum pernah menang lomba kebersihan kelas sekalipun, hehehe). Cihuy... hadiahnya banyakan makanannya... Dan langsung habis dalam satu hari Senin saja! Minumannya? Bagi-bagi dong... walaupun ga ada gelas, pakai aja gelas buat wadah bunga yang ada di dalam hadiahnya! Jorok sih.... tapi... demi minuman juara! Sang bartender pun beraksi lagi, besoknya menu-menu minuman saat tujuh belasan diracik lagi untuk kawan-kawan satu peleton. Lumayan...


Waktu bulan Ramadhan lagi nih, BuBar tetep jalan... dan tempatnya pun nggak jauh-jauh dari sekolah. Sejak BuBar kelas sebelas dulu nyari tempatnya yang dekat-dekat sekolah kok. Biar gampang nyarinya. Tapi tetep aja... aku nggak ikut BuBar yang kali ini juga...


Bulan puasa? Nggak masalah untuk belajar. Dengan semangat 2008 dan semangat menyambut tahun baru Hijriah (doelah... lebay amat daritadi!), para pasukan bimbel tetap belajar, mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian-ujian.


Dan hal yang tak diduga tak dinyana adalah munculnya tes-tes masuk mandiri yang diadakan oleh beberapa universitas, contohnya SIMAK-UI, UM-UGM, USM-ITB, dan tes-tes lain yang diadakan berbagai universitas. Jelas, hal ini dimanfaatkan betul oleh kami yang betul-betul berniat untuk melanjutkan pendidikan ke universitas yang diinginkan. Bimbel pun berlomba membuat program untuk membantu kita mengerjakan ujian-ujian masuk tersebut. Tapi hal itu malah membuat kami tidak fokus kepada materi-materi UN, dan membuat para guru lumayan sebal. Huuh, kan harusnya sadar, dong. UN itu yang utama. Kalau kalian lulus tes universitas tapi nggak lulus UN, gimana? Mungkin itu yang ada di benak sebagian guru, dan sebagian dari mereka terasa agak-agak menyindir gimanaaa gitu terhadap tes-tes mandiri tersebut.


Kami yang menangkap sinyal sindiran tak senang dari para guru tersebut mencibir. Memang apa salahnya sih ikut tes duluan. Siapa tahu, kalau lulus tes kan kita bisa lebih fokus UN. Lagian tesnya nggak dekat-dekat UN, kok. Masih bisa belajar buat UN.


Bimbel rajin mengadakan try out demi anak-anak didiknya sukses menempuh ujian mandiri. Sampai-sampai rasanya aku kenyang dengan soal-soal SPMB. Huah, mana tahan tiap kali dijejali soal... tapi demi! Demi kampus idaman, tahan semua rasa jenuh, muak, buang semua perasaan jelek itu! Sisakan hanya perasaan optimis, pantang menyerah!


Sebelum itu, kita rileks sedikit... Saatnya kita foto-foto bersama untuk Buku Tahunan! Ya ampun... waktu terasa begitu cepat, ya. Perasaan baru kemarin kita diminta oleh kakak kelas untuk foto Buku Tahunan sebagai adik kelas, sekarang... giliran kita sebagai kakak kelas yang punya hajat. Berbagai rencana untuk foto-foto pun disusun sedemikian sehingga bisa berjalan sesuai keinginan.


Tujuan yang digunakan sebagai latar foto pun bermacam-macam dan berbeda tiap kelasnya. Kita sendiri memilih salah satu tempat wisata di Bogor sebagai latar fotonya. Dengan biaya patungan yang sudah ditetapkan, kami berangkat menuju lokasi dengan sarana yang berbeda-beda. Ada yang sepakat menggunakan kendaraan bermotor, ada pula yang sepakat naik kereta, termasuk aku. Kenapa? Seru aja. Kpan lagi naik kendaraan umum bareng teman-teman? Kalau dipikir-pikir, kejadian ini nggak bisa sering terjadi, lho. Makanya manfaatkan waktu yang ada. Kita nggak akan menikmati hal yang sama di detik yang berbeda.


Yaa... namanya juga remaja. Jiwa narsisnya masih kuat. Hahaha. Jangan marah, dong. Ngaku aja deh... Waktu foto bersama pasti banyak yang curi-curi foto sendiri, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan waktu, ya, ‘kan? Hehehe. Memang foto narsis itu seru, kok. Aku juga mengakui itu.


Setelah kita selesai berfoto ria, kembali kita harus fokus pada ujian!


Makin mendekati hari ujian mandiri, makin gencarlah sindiran dari kalangan guru. Tapi kita tebal muka, kok. Sebodo amat deh, kan yang mau ujian itu kita (ya ampun... maaf ya guru sekalian...). Dan hari ujian itu tibalah! Ya... kita berusaha sekuat yang kita mampu. Hasilnya? Alhamdulillah, aku dapat. Buat yang belum dapat, jangan kecewa... jalan kalian menuju kampus idaman kalian mungkin bukan lewat ujian mandiri ini! Percayalah, masih banyak jalur-jalur yang bisa kalian tempuh! (halah, sok tua sok bijak sok nasehatin.)


Ada juga yang syukuran atas diterimanya dirinya di universitas yang diinginkan dengan metode mentraktir kawan sejawatnya. Ada dua orang di kelasku yang tidak bisa disebutkan namanya di sini yang melakukan ritual tersebut. Ya... lumayan sebagai pelipur lara dan sebagai penyemangat sebelum UN!!! Kapan lagi ada traktiran selama dua hari berturut-turut? Ini namanya berkah dan karunia dari Tuhan Semesta Alam, Allah SWT. Makasih, ya, teman... (hahaha, saat gini aja baru diakuin teman. Dasar.)


Setelah itu, kelihatannya guru-guru kembali normal lagi (hags, normal? Sebelumnya kaya apa coba?). Udah nggak sensi lagi, karena anak-anaknya udah fokus UN lagi. Senang, ya. Ya sudah, ayo kita berjuang sama-sama menghadapi UN... Ayo kita latihan soal... berikan saja soal-soal itu sampai kita jenuh... terus... sampai kita terbiasa mengerjakan soal, sampai kita nggak perlu lihat soalnya lagi kalau perlu! Hehehe.


Tapi, kupikir try out-nya kurang banyak. Waktu aku SMP dulu, sampai waktunya UN, try out itu diadakan tiap minggu dan diadakan sistem ranking dan kelas A-F. Jadi kita termotivasi untuk lebih baik lagi. Sudahlah, yang penting ada try out. Daripada nggak, ya ‘kan?


Terlihat sekali gelagat para guru mata pelajaran UN. Nggak bisa disembunyikan kok, rasa gelisah itu. Waktu mengajar pasti ada yang salah. Hm... nggak bisa tenang. Padahal yang mau menjalankan UN ‘kan kita, bukan gurunya. Tapi tetap saja para guru merasa tanggung jawab agar para anak didiknya bisa lulus 100% (amin!) ada di tangan mereka!


Dan UN memang berpengaruh sekali terhadap kelakuan kami. Yang tadinya kalau istirahat kerjanya cuma jajan, menjelang UN banyak yang memanfaatkan waktu tersebut untuk shalat Dhuha atau untuk belajar. Yang tadinya tukang cabut, menjelang UN jadi anteng di kelas dan sering berdiskusi dengan yang lainnya. Yang tadinya di buku absen banyak huruf ‘A’-nya, menjelang UN banyakan tanda titiknya. Kelas yang tadinya sering ada bangku yang kosong, menjelang UN bangku kosongnya cuma satu (karena jumlah kita ganjil, jadi sisa satu yang kosong). Wuah, pokoknya efek sampingnya yang positif-positif aja deh! Luar biasa!


Dan ritual wajib yang selalu dilakukan oleh para kakak kelas dua belas menjelang UN, yaitu minta maaf. Ya... ke siapa aja yang ditemuin. Ke babeh Dani, babeh Dahlan, ke Kumis, Romi, ya... siapa aja deh yang ditemuin dan bisa diajak minta maaf (ajak?). Yang sebelumnya nggak pernah interaksi pun ngajakin minta maaf. Sarana online pun tak luput jadi sasaran sebagai tempat minta maaf. Wall post di Facebook jadi penuh dengan kiriman berbagai sajak maaf dari teman-teman. Pokoknya serasa lebaran Idul Fitri deh. Mendadak jadi penyair semua. SMS-SMS maaf juga gencar ditembakkan. Siapapun yang ada contact-nya di phonebook, kirimin aja... bles bles bles! Pokoknya minta maaf dan yang penting, minta restu dan doa. Biar lancar ngerjain UN dan bisa lulus 100%. Tak lupa kata ‘amin’ ditambahkan di akhir SMS.


Mendadak operator-operator SMS kebanjiran duit. Wuah... panen betul mereka. Berapa milyar SMS yang sudah dikirim oleh semua anak kelas dua belas di Indonesia kalau misalnya tiap anak mengirim 40 SMS saja? Kalau biaya tiap SMS adalah Rp 100,00, satu anak saja sudah menyumbang Rp 4.000,00. Kalau 240 anak? Hampir sejuta. Itu baru di SMAN 3, dalam waktu satu jam pula. Kalau dalam rentang waktu 5 jam SMS terus? Di Depok, SMA Negeri saja ada 6. Belum yang swasta. Belum di Jawa Barat. Belum di Indonesia. Wuah, tahu begitu kerja saja di perusahaan provider. Hehehe.


Salah satu tradisi yang dilakukan secara kesadaran sendiri oleh para siswa kelas dua belas yaitu minta maaf dan doa pada adik kelas dengan cara ‘menjamah’ kelas-kelas mereka. Sambil menyalami mereka satu per satu, mereka minta maaf dan doa. Nggak kenal juga bodo amat, deh. Yang penting kemustajaban doanya bisa makin banyak seiring banyaknya orang yang dimintai maaf.


Waktu itu aku tidak ikut ritual itu. Lagi batuk begini nanti malah bikin berisik doang. Mending di kelas menenangkan diri. Waktu itu hari Jumat, hari terakhir untuk belajar efektif. Memang kedengarannya agak ‘gila’, sudah H-3 kita tidak ada yang namanya ‘hari tenang’ seperti anak Jakarta. Aku tidak tahu apa yang ada di benak para petinggi sekolah dengan tidak memberi ‘hari tenang’, tapi kupikir itu satu keputusan yang bagus juga. Jadi kita bisa merasakan kehidupan sekolah lebih lama :).


Kami semua saling bermaafan, berpelukan (bahkan berurai air mata!), bersalaman, dan apalah cara-cara lain mengungkapkan maaf. Karena setelah pulang ini, kita tidak bisa lagi mundur. Kita harus tetap maju, siap atau tidak, hadapilah tembokmu (yah, hole-in-the wall banget!). Ini ujian kita semua! Masuk SMA bareng-bareng, lulusnya juga harus bareng-bareng, dong!


Dan hari itu, tibalah.


20 April 2009. Hari pertama UN dengan pelajaran Biologi dan Bahasa Indonesia. Hari ulang tahunku yang kedelapan belas. Hebat, ulang tahunku dirayakan oleh seluruh siswa SMA kelas dua belas se-Indonesia! Mana Taman Mini Indonesia Indah juga bareng lagi ulang tahunnya. Pada hari itu, TMII menggratiskan bea masuknya. 20 April yang sungguh bersejarah bagiku...


Sudah bisa kutebak, nasib anak yang berulang tahun pasti akan ‘dihujani’ tagihan traktiran. Mana berani aku mentraktir di masa-masa ini. Nanti kalau ada yang sakit gara-gara aku traktir, aku yang tanggung jawab, dong? Padahal UN masih 4 hari! Sabar, teman! Kalau ada rejeki Insya Allah kutraktir. Traktirnya Kumis satu-satu, ya. Hahaha (keterlaluan nih orang pelitnya)!


Wah, keadaan waktu UN? Susah ditulis, nanti kepanjangan. Benar-benar seru. Nggak terasa seperti sedang UN buatku. Seperti try out biasa saja.


Fisika benar-benar, deh. Aku ‘kan nggak terlalu bisa! Tapi semoga saja lolos dari lubang jarum... Amin. Untuk pelajaran lain optimis, sih. Tapi aku harus optimis lulus UN!!!


Kejadian-kejadian ajaib waktu UN? Ada, sih. Pernah satu waktu gara-gara ada apaaa gitu (aku sendiri nggak terlalu tahu gara-gara ada apa), pada jerit-jerit gitu deh. Jadi suasana agak kacau... Terus di hari terakhir UN, ada-ada saja. Salah seorang temanku ada yang sedang sakit. Sesaat setelah LJUN dibagikan, salah seorang guru datang membawakan segelas teh manis panas untuknya. Katanya dia lagi sakit, sepertinya thypus dan sepulang UN langsung diopname. Wah, semoga cepat sembuh, ya, teman...


Setelah bel pulang berbunyi di hari terakhir, semua langsung mendesah lega. Haaah... akhirnya selesai juga UN! Facebook kembali tak lepas dari pelampiasan anak-anak untuk mengekspresikan kelegaan mereka. Aku sendiri main ke rumah salah satu temanku untuk bermain-main dengan hewan peliharaannya. Huah, benar-benar lega, deh!


Kini tinggal doa dan tawakal yang bisa kami lakukan. Pak guru, bu guru, mohon doa restunya ya supaya anak-anak didikmu ini bisa lulus 100% dengan baik, mampu mempertahankan nama sekolah di puncak, Amin... Mama, Papa, doakan anakmu ini ya, supaya bisa lulus dengan baik... Karena doa yang paling dikabulkan adalah doa dari orangtua yang ridha terhadap anaknya... agar anakmu ini bisa melanjutkan cita-citanya...


Eits, tunggu dulu. Kita masih belum bisa berleha-leha. Setelah ini masih ada ujian praktek dan UAS. Setelah UN langsung diadakan ujian praktek, minggu berikutnya langsung diadakan UAS. Sibuk, sibuk, deh. Langsung digeber selama 3 minggu. Setelah itu kita mempersiapkan diri untuk acara pelepasan siswa-siswi kelas dua belas. Ayo para panitia, semangat, ya!


Ya ampun... sungguh tidak terasa. Sudah 3 tahun kita bersama di SMAN 3 Depok ini. Terasa lama tapi singkat. Menyebalkan tapi bikin kangen. Yakin, pasti setelah lulus banyak yang ingin kembali lagi mengulang masa SMA-nya. Masa SMA, kembangnya masa remaja.


Di SMA ini kita banyak belajar mendewasakan diri. Belajar menghadapi persoalan-persoalan nyata di kehidupan bermasyarakat yang keras. Membuka mata dan pikiran terhadap wawasan-wawasan baru. Belajar untuk berorganisasi dengan lebih terstruktur. Yah... pokoknya kita ini banyak belajar deh, walaupun lingkupnya baru di SMA dan sebagian kecil Depok.


Di SMA ini, cerita-cerita tentang hidup kita akan lebih banyak terukir. Pasti nanti kalau sudah menikah, punya anak, kerja, pasti yang diceritakan akan lebih banyak berkisar waktu SMA. Soal cinta, teman, sahabat, guru, hobi, kejadian-kejadian, itu semua yang pernah kita alami di SMA, karena kita sudah lebih mengerti dan... lebih tahu dalam mengambil tindakan.


SMA... ah, sudahlah. Kalau dijabarkan terus aku yakin nggak ada habisnya. Silakan simpan sendiri kenangan-kenangan kita selama di SMA ini, dengan kotak masing-masing, kemasan masing-masing. Kita semua teman, saling mendoakan. Semoga yang terbaik untuk kita semua, amin...

Sungguh ku bersyukur ditunjukkan jalan untuk bersekolah di

SMA N 3 Depok. Terima kasih ya, Allah...

Depok, 23-24 April 2009, 22.06

Club Cooee