Jumat, 16 Desember 2016
Coming Soon: Travelog - Jepang
Mungkin sudah basi ya, jalan-jalannya bulan Oktober tapi sampai Desember belum tulis jurnalnya, hahaha. Tapi saking banyaknya yang mau ditulis, jadi bingung mau mulai dari mana... Mungkin akan dimulai dari proses prakeberangkatan ya, mulai dari perencanaan, pencarian, dan pembelian keperluan. Nanti yang bagian on the spotnya bakal ditulis setelah itu (entah kapan), semoga nggak malas juga buat menulis tips jalannya xD
Senin, 27 Juni 2016
Tutorial Singkat menggunakan Flip
TRANSFER ANTARBANK TANPA BIAYA
Waktu awal-awal bulan puasa mau transfer via Flip, saya menyadari ada yang berbeda dari biasanya. Dan perubahan itu adalah sesuatu yang menyenangkan. Flip menaikkan limit transfer per harinya dari 2 juta menjadi 5 juta rupiah! Yay!
Rabu, 27 April 2016
Warunk Dreamer: Si Kuning di Jalan Asmawi
Karena belakangan tempat makan berjamur di dekat rumah saya, jadi saya semakin termotivasi untuk mencicipi satu per satu. (((motivasi))) Salah satunya adalah si kuning yang tampak mencolok di jalan H. Asmawi yang hanya muat 2 jalur ini, Warunk Dreamer. Tidak sulit dicari, karena ada neonboardnya, dan letaknya di seberang apotek K-24.
Senin, 18 April 2016
Warung Bakmi Gerobak Kuning, Tanjung Duren
Kalau saya bikin review tempat makan, itu artinya tempat makan itu enak (setidaknya bagi saya, hehehe). Dan saya tidak akan ragu untuk merekomendasikan tempat makan enak bagi orang lain, karena siapa tahu seleranya sama.
Kamis, 14 April 2016
Mengurus Perpanjangan Paspor Biasa ke E-Paspor, Mudah!
Dengan semakin membaiknya sistem pelayanan pemerintahan Indonesia, kini membuat paspor tak terasa merepotkan dan aman dari calo. Termasuk bagi saya. Hari ini saya telah mengurus perpanjangan paspor saya yang habis pada bulan Januari kemarin. Biar sekalian (siapa tahu saya ada kesempatan ke Jepang mewujudkan impian, hihihi), saya perpanjang paspor saya menjadi e-paspor.
Senin, 11 April 2016
Kekosongan yang Memenuhi Benak
Apakah hal ini berlebihan atau tidak, saya tidak tahu pasti, tapi saya masih merasa sedih atas kepergian Pakde saya, kakak lelaki Papa yang ketiga. Empat puluh tiga hari sejak tanggal kabisat itu, ketika saya mendengar sebuah kabar yang membuat tangis saya pecah di ruangan atasan saya saat meminta izin pulang cepat.
Empat puluh tiga hari, tidak selalu saya lalui dengan mengenang Pakde. Tetapi ada kalanya saat saya melihat status media sosial sepupu saya yang merupakan anak dari Pakde, atau saat saya tidak sengaja menemukan foto Pakde ketika sedang membuka-buka folder foto di penyimpanan luar, selalu ada rasa seperti ditekan di bagian nasofaring. Dan sembunyi-sembunyi saya membiarkan tekanan itu melesak hingga pipi saya basah dibuatnya dan beberapa helai tisu menjadi peredamnya.
Siapa kah Pakde bagi saya? Saya sendiri merasa bahwa saya tidak dekat-dekat amat dengan beliau. Tapi mungkin kalian akan berkata, 'Masa, sih?' atau, 'Bohong,' saat melihat saya menangis ketika membicarakan hal mengenai Pakde.
Ketika mendengar kabar duka untuk pertama kali di pagi hari itu, saya menangis. Ketika menyaksikan prosesi pemakaman mulai dari tibanya jasad almarhum Pakde hingga tanah kubur rapi menutup dan ditabur kelopak bunga serta diguyur air mawar, saya tegar, meski ketika tali kafan dibuka saya sudah merasa sesak luar biasa. Ketika pengajian 7 hari Pakde, saya tegar. Ketika pengajian 40 hari Pakde, saya gagal untuk tetap tegar. Saya menangis di kursi di teras, di depan saya ada sebaris bangku yang diduduki oleh keluarga, termasuk Papa di sana. Saya tak peduli, saya rindu Pakde.
Rindu apanya?
Rindu keberadaannya, mungkin. Rindu komentarnya, mungkin. Rindu tawanya, mungkin.
Kemungkinan-kemungkinan itu karena saya tidak tahu pasti. Kenapa rasanya tidak terlalu dekat, tetapi ketika berpisah merasa sakit?
Mungkin waktu akan mengurangi frekuensi kesedihan ini, mungkin juga tidak. Bisa jadi ketika menemukan foto lama yang ada Pakde di dalamnya, paru-paru ini mendadak seperti disumbat.
Ini kali pertama, sepanjang ingatan saya, saya merasakan kesedihan yang mendalam karena kehilangan sanak. Itulah yang membuat saya bertanya-tanya, sedekat apa saya dengan Pakde hingga saya merasa sampai segininya sentimen.
Ini tentang Pakde. Saya belum mau membayangkan jika saya berada di posisi sepupu saya, menulis status media sosial mengenai hari-hari tanpa orangtuanya, mengenai mimpi yang ada orangtuanya, mengenai peninggalan orangtuanya, mengenai nasihat orangtuanya. Saya belum mau. Manusiawi, kan?
Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Meski begitu, saya ingin agar bisa menyempurnakan keluarga saya dengan cara saya. Semoga kita senantiasa berada dalam lindungan dan ampunan Allah, aamiin.
PS: Saya tidak mau pasang foto, nanti baper. Sudah cukup bapernya ketika menulis ini saja.
Empat puluh tiga hari, tidak selalu saya lalui dengan mengenang Pakde. Tetapi ada kalanya saat saya melihat status media sosial sepupu saya yang merupakan anak dari Pakde, atau saat saya tidak sengaja menemukan foto Pakde ketika sedang membuka-buka folder foto di penyimpanan luar, selalu ada rasa seperti ditekan di bagian nasofaring. Dan sembunyi-sembunyi saya membiarkan tekanan itu melesak hingga pipi saya basah dibuatnya dan beberapa helai tisu menjadi peredamnya.
Siapa kah Pakde bagi saya? Saya sendiri merasa bahwa saya tidak dekat-dekat amat dengan beliau. Tapi mungkin kalian akan berkata, 'Masa, sih?' atau, 'Bohong,' saat melihat saya menangis ketika membicarakan hal mengenai Pakde.
Ketika mendengar kabar duka untuk pertama kali di pagi hari itu, saya menangis. Ketika menyaksikan prosesi pemakaman mulai dari tibanya jasad almarhum Pakde hingga tanah kubur rapi menutup dan ditabur kelopak bunga serta diguyur air mawar, saya tegar, meski ketika tali kafan dibuka saya sudah merasa sesak luar biasa. Ketika pengajian 7 hari Pakde, saya tegar. Ketika pengajian 40 hari Pakde, saya gagal untuk tetap tegar. Saya menangis di kursi di teras, di depan saya ada sebaris bangku yang diduduki oleh keluarga, termasuk Papa di sana. Saya tak peduli, saya rindu Pakde.
Rindu apanya?
Rindu keberadaannya, mungkin. Rindu komentarnya, mungkin. Rindu tawanya, mungkin.
Kemungkinan-kemungkinan itu karena saya tidak tahu pasti. Kenapa rasanya tidak terlalu dekat, tetapi ketika berpisah merasa sakit?
Mungkin waktu akan mengurangi frekuensi kesedihan ini, mungkin juga tidak. Bisa jadi ketika menemukan foto lama yang ada Pakde di dalamnya, paru-paru ini mendadak seperti disumbat.
Ini kali pertama, sepanjang ingatan saya, saya merasakan kesedihan yang mendalam karena kehilangan sanak. Itulah yang membuat saya bertanya-tanya, sedekat apa saya dengan Pakde hingga saya merasa sampai segininya sentimen.
Ini tentang Pakde. Saya belum mau membayangkan jika saya berada di posisi sepupu saya, menulis status media sosial mengenai hari-hari tanpa orangtuanya, mengenai mimpi yang ada orangtuanya, mengenai peninggalan orangtuanya, mengenai nasihat orangtuanya. Saya belum mau. Manusiawi, kan?
Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Meski begitu, saya ingin agar bisa menyempurnakan keluarga saya dengan cara saya. Semoga kita senantiasa berada dalam lindungan dan ampunan Allah, aamiin.
PS: Saya tidak mau pasang foto, nanti baper. Sudah cukup bapernya ketika menulis ini saja.
Langganan:
Postingan (Atom)